Persekutuan Anak dan Remaja GKI Mimika

Persekutuan Anak dan Remaja GKI Mimika

Rabu, 17 Maret 2010

Kebiasaan Penduduk Mansinam yang jahat


Para sending menghadapi tantangan “kekafiran”, pemujaan patung – patung roh, pesta – pesta pemujaan untuk orang mati dan sebagai nya, dimana nyanyian – nyanyian penduduk dinyanyikan pada waktu malam terang bulan sepanjang pantai. Ini harus di hentikan, dan sebagai langkah awal Geissler tidak membeli sesuatu dari penduduk pada hari minggu, kecuali mereka yang datang minta obat dilayani dengan catatan mengikuti kebaktian gereja. Ottow dan Geissler mengajarkan mereka tentang “Iman berdasarkan pendengaran.” Geissler dengan keras dalam khotbahnya melarang penyembahan berhala dan pendirian tempat – tempat pemujaan Roh ( Rumsram ) benda skral (patung – patung ) yang tidak ada gunanya.
Namun rakyat tidak menerima nya, kata mereka roh – roh orang mati, rumah iblis, patung – patung itu hanya orang asing saja yang tidak percaya, dan mereka meminta kepada Geissler untuk mengusahakan orang – orang mati mereka bangkit, baru mereka dapat serahkan Korwar (Patung – patung ) dan hanya mengikuti ibadah hari minggu.
Selain penyembahan berhala, pengayauan, membalas dendam setelah satu peristiwa kematian, masalah suanggi (Orang hidup yang memegang kuasa jahat) di mana ibu – ibu tua yang tidak berdosa kadang di bunuh, karena di curigai sebagai suanggi, perburuan budak yang mengakibatkan kepedihan dan kecemasan bagi perintis pekabaran injil.
Ottow dan Geissler pernah menebus beberapa budak orang Numfor. Faktor bahasa membuat orang malas hadir dalam ibadah hari minggu, jika Ottow dan Geissler menggunakan bahasa Numfor, maka orang tidak mau hadir lagi, karena mereka merasa malu mendengar bahasa ini.
Hal ini baru diketahui beberapa tahun kemudian
Kebiasaan membunuh orang yang kapal nya kandas (Karam) dan merampok barang – barang nya. Orang kampung menganggap bahwa orang yang karam itu mendapat kutukan sehingga malapetaka tersebut berasal dari roh– roh jahat. Ottow dan Geissler pernah dua kali menyelamatkan beberapa orang Eropa yang kapal nya karam, namun sebagian besar di bunuh oleh rakyat. Karena jasa nya itu mereka memperoleh penghargaan dari pemerintah dan menerima gaji setiap bulan sebesar f 50 (lima puluh gulden).

Apakah mereka benar Manusia ?

Orang Mansinam telah melihat ke dua orang kulit putih yang tiba di pantai Mansinam itu, sebelum nya mereka hanya melihat dan mendengar dari jauh tentang manusia kulit putih, namun sekarang mereka datang dan tinggal bersama mereka;
Kedua penginjil itu menumpang di sebuah gudang tua yang sudah rusak milik seorang pengusaha kapal. Penduduk Mansinam heran karena ke dua orang ini mempunyai adat – istiadat yang lain.
Mereka benar – benar manusia.
Seorang dukun dari pulau itu yang dianggap sebagai orang yang paling tahu segala nya, menjelaskan dan menasehatkan orang kampung bahwa ke dua orang itu adalah orang mati yang bangkit. Jadi orang tidak boleh mendekati mereka bila tidak mau terjangkit dan berubah menjadi orang mati

Kedua sendeling itu adalah utusan tukang, mereka mulai bekerja, dengan menanam tanaman yang di bawa dari Ternate. Untuk pekerjaan bercocok tanam, mereka butuh tanah yang subur sedangkan Mansinam berbatu dan kurang subur sehingga mereka harus ke daratan Kwawi. Untuk ke daratan yang jauh nya 1 – 2 jam perjalanan menggunakan perahu, Ottow dan Geissler berusaha membuat parahu itu sendiri karena tidak ada orang kampung yang mau menyapa mereka. Setelah tiga kali salah menebang pohon yang tidak dapat dijadikan perahu, orang kampung mulai rasa kasihan, lalu menjual sebuah perahu kecil untuk kedua penginjil itu.

Selanjutnya mereka berdua mulai bekerja melawan rimba pesisir Mansinam dan Kwawi. Beberapa minggu kemudian kedua nya jatuh sakit, awalnya disangka akibat dari pekerjaan yang berat, namun ternyata disebabkan oleh penyakit Malaria.

Ketika kedua nya terbaring karena serangan malaria, banyak orang datang menjenguk mereka. Setiap orang ingin tahu apa yang akan terjadi dengan ke dua manusia putih itu, yang berasal dari Matahari terbenam di mana tempat tinggal arwah orang mati (Menurut pikiran penduduk ) . Untung Geissler membawa obat Kinine, dan setelah sembuh mereka melanjutkan pekerjaan nya. Selain itu jika ada waktu senggang mereka adakan ibadah, karena rakyat juga ada yang mengetahui sedikit bahasa melayu sehingga sering terjadi salah pengertian dalam komunikasi.

Ketika Geissler berbicara mengenai orang mati pada hari minggu, orang – orang kampung sedikit mengerti maksud nya, mereka juga memiliki kepercayaan bahwa orang – orang yang telah mati satu saat akan bangkit membawa kebahagiaan. Khotbah ini membuat orang kampung selalu menyelidiki kuburan untuk melihat apakah orang mati akan bangkit kembali setiap hari minggu. Namun kubur – kubur tetap tertutup, sendeling telah menipu kita, hanya mereka saja manusia betul, orang kulit putih adalah manusia dari masa yang sudah berlalu.

Tiba di Mansinam

Bulan Februari 1855 mereka berangkat dari Ternate dengan menumpang kapal layar “ Ternate” Ketika matahari terbit, bayangan gunung Arfak mulai nampak dan teluk yang tenang diiringi nyanyian ombak menghantarkan Perahu layar Ternate yang membawa kedua utusan Injil di teluk Doreh Manokwari, di mana sauh tujuan akan di labuhkan, Hutan yang membisu lagi menyeramkan dan Pulau Mansinam yang menjandi saksi pijakan kaki para hamba Nya untuk pertama kali , “ Dengan Nama Tuhan kami menginjak tanah ini “ Demikianlah Doa sulung ke dua utusan Injil itu ketika tiba di tepi pantai Pulau Mansinam Tanggal 5 Februari 1855. Cahaya dan embun sorgawi turunlah sudah hendak menyinari kekelaman dan kelam kabut Tanah ini. Mereka datang dengan satu tekad bahwa injil Kristus harus disampaikan pada orang Papua.

Tujuan kedua penginjil ini tercapai , Injil Tuhan telah mencapai tanah kekafiran , namun tantangan mulai terasa. Tak ada seorang pun yang menyapa mereka, mereka hanya seorang diri, berada di dalam kepercayaan itu. Orang Mansinam menganggap kedua orang ini berasal dari dunia lain (Dunia aibu) karena kulit mereka putih.

Banyak kesulitan yang dihadapi kedua zendeling ini, disebabkan karena, Penduduk Mansinam dan Manokwari belum dapat menerima Ottow dan Geissler, disebabkan kapercayaan animisme / dinamisme yang kuat Penduduk juga belum mengerti pekerjaan dan apa tujuan kedatangan kedua utusan tersebut. Gambaran dari kedua utusan sewaktu di tanah Jerman tentang sistim kehidupan penduduk New Guinea ternyata jauh berbeda dari apa yang mereka alami saat itu, penduduk belum memerlukan hasil pertukangan mereka, akhirnya sering terjadi salah paham dalam pemberitaan injil

Akibatnya Ottow dan Geissler harus bekerja sendiri, membuka hutan sendiri, membuat rumah sendiri dan banyak pekerjaan lain yang harus mereka kerjakan sendiri, bahkan apabila mengalami kesakitan dan kesulitan haruslah berusaha sendiri agar dapat terlepas dari kesulitan tersebut.

2.Dari Batavia ke New Guinea

Perjalanan pertama telah ditempuh dengan berjalan kaki dari Berlin ke Zetten dan berlayar ke Hindia Belanda ( Batavia ) . Tanah New Guinea masih jauh dibalik kaki langit, sebelum ke New Guinea mereka harus minta ijin dari pemerintah Hindia Belanda dan belajar bahasa Melayu. Di Batavia ada sebuah Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar” yang setia menemani mereka dengan baik” Schneider menjadi sendeling pedagang, sedangkan Ottow dan Geissler di persiapkan untuk Tanah New Guinea.
Mereka pernah mendengar bahwa Tanah New Guinea belum ada pemerintahan , orang masih hidup dalam kegelapan sebagai pemakan manusia (Kanibal) dan berbagai macam berita yang mereka dengar tentang tanah New Guinea . Untuk mempersiapkan diri Ottow dan Geissler selama 1 ½ (satu setengah ) tahun harus mengajar pada sebuah sekolah di dekat Batavia, barulah semua urusan nya bisa diselesaikan untuk keberangkatan mereka ke sebelah timur Hindia Belanda.
Di Makassar mereka bertemu dengan orang utusan Gossner, Schneider menyarankan agar sebaiknya mereka mencari nafka sebagai pedagang dari pada harus berangkat ke New Guinea . Semakin mendekat ke New Guinea banyak orang menasihatkan agar jangan pergi ke sana sebab disana penduduk nya masih buas.
Tiba di Ternate mereka menunggu berbulan – bulan. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat membiarkan diri untuk ditakut – takuti oleh berita – berita yang mengerikan tentang tanah tujuan, banyak orang memberi bantuan atau dukungan bagi perjalanan mereka.
Semua perlengkapan kedua utusan ini dibayar oleh “ Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar “ di tambah dengan sejumlah kecil modal awal untuk usaha mereka yang pertama, yang memberi mereka satu dasar ekonomis yang pada waktu itu cukup yaitu : f 300 (tiga ratus gulden). Ottow dan Geissler mengumpulkan bermacam – macam barang, bahkan beberapa ekor sapi dan ternak kecil di tambah banyak tanaman.

1. Masa Persiapan

Johann Gottlob, seorang pemuda berusia 17 tahun, oleh ayahnya ia belajar pada seorang tukang perabot di Berlin. Dia suka belajar dan menggabungkan diri dengan sekelompok pemuda, yang sama – sama melakukan sejenis pekerjaan kader. Disitulah Johann belajar banyak dan mengunjungi kawan – kawan nya. Pada suatu pertemuan sending, dimana ia pernah mengikuti “pengutusan dua ", untuk pengutusan sending dua orang yaitu yang disebut : “Sendeling tukang" (Zendelings werk lieden ) yang disponsori oleh bapak Gossner.
Bapak Gossner adalah bekas Imam Roma Katholik yang pada jamannya sangat Oikumenis pikiran nya, ia sangat keras menentang segala formalisme, ia sendiri tidak fanatik. Ia memiliki pandangan yang terbuka untuk dunia luas, dimana Injil be­Ium dikabarkan.
Dia tidak menggabungkan diri dengan pen­didikan sendeling pada waktu itu, yang harus belajar sekian lama, sehingga menurut dia terlaIu intelektualistis, dan ia punya ide untuk mengirim sendeling “ tukang itu ke daerah - daerah yang belum men­dengar berita Injil.

Mereka tidak perlu pendidikan tinggi yang memakan banyak waktu. Orang Kristen yang penuh keyakinan dan dengan dedikasi yang baik, dapat diutus setelah mengikuti masa persiapan yang pendek, dan seperti rasul Paulus dapat memelihara hidupnya dengan hasil kerajinan tangan. Sehingga Dalam waktu senggangnya mereka dapat memberitakan Injil.

Johann Geissier mendengar hal ini, ketika hadir dalam suatu pertemuan, yang dipimpin oleh bapak Gossner, tentang pekerjaan sending. Rupanya saat itu Johann memakai pakaian yang agak mencolok, sebab sesudah `ceramah bapak Goss­ner berseru kepada pemuda yang hadir dan dia ber­paling kepada Johann : “kau yang berbaju biru, bagaimana dengan mu, apakah kau tidak tertarik untuk pekerjaan sending?". Karena dikonfrontir didepan banyak orang, oleh seruan yang langsung ditujukan padanya, Johann menja­wab': “ya, namun saya tidak punya kemampuan dan tidak yakin apakah dapat menjadi seorang sendeling yang baik''.
Akan tetapi Gossner memberanikan dia, sehingga Johann mengikuti pendidikan. Mula mula dalam waktu senggangnya, dan kemudian ia mulai serius belajar di rumah bapak Gossner sendiri. Sekarang nyata, bahwa Johann tidak hanya memperkenalkan dirinya melalui baju birunya, tapi juga melalui wataknya. Pada tanggal 28 Februari 1852 katika berusia 22 tahun ia diteguhkan sebagai seorang sendeling, dan demikian menjadi salah satu utusan Gossner.

Di Zetten, tanah Belanda waktu itu tuan O.G Heldering, yang telah mengadakan kerjasama dengan Gossner setuju akan ide tukang – tukang Kristen sebagai pekerja sending di ladang Tuhan . Mereka yang pergi ke Hindia Belanda (Indonesia) ditampung sementara di Zetten, untuk belajar bahasa Belanda dan dipersiapkan untuk berangkat.

Geissler juga melalui cara ini. Dengan rekan nya Schneider, dalam bulan maret ia berjalan kaki dari Berlin ke Zetten. Pada tanggal 25 April 1852 mereka tiba di Zetten. Dalam perjalanan mereka mengabarkan injil, menyanyi dan mengadakan pertemuan. Nyanyian “ Wo findet die seele die Heimat , die ruh” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi “ Daar ruist langs de wolken “ (Segala benua dan langit penuh Ny Rohani 144) Geissler dan Schneider yang memperkenalkan lagu ini di tanah Belanda. Rupanya Geissler seorang penghotbah yang menarik, sehingga dalam penginjilan dari kampung ke kampung dan kota ada tujuh orang pemuda mengaku iman nya dan bertobat. Ini bila kita lihat selama hampir 15 tahun Geissler bekerja di tanah Papua ia hanya dapat membabtiskan enam orang, dan itu juga adalah budak – budak yang telah di tebus oleh nya Tanggal 25 Juni 1852 Geissler bersama teman – teman nya di utus ke Zetten dan keesokkan hari nya beranghkatlah mereka dengan kapal “ Abel Tasman”, melalui tanjung Pengharapan hingga ke Batavia (Jakarta) mereka pada tanggal 7 Oktober 1852

Dengan nama Tuhan kami menginjak Tanah ini

Sejak abad ke–15 sampai dengan abad 16 Papua (New Guinea ) pada waktu itu, dibawah kekuasaan pemerintahan Sultan Tidore. Namun Sultan Tidore tidak mendirikan pemerintahan nya di tanah Papua. Pada tahun 1828 dinyatakan bahwa Papua sebagai bagian Barat dari Jajahan Belanda. Tahun 1898 ditempatkanlah aparat pemerintahan Belanda yang berkedudukan di Manokwari (Injil telah diberitakan di tanah Papua selama kurun waktu 43 tahun)
Dalam tahun 1848 terbentuk suatu perhimpunan Utusan Tukang di Belanda, yang didirikan oleh Pdt. O.G Heldring. yang tujuan nya adalah mengutus para tukang yang trampil ke daerah – daerah yang masih dalam kegelapan atau kafir. Utusan tukang adalah orang Kristen yang berpengetahuan tukang, tani, pedagang yang dapat bekerja mencari nafkah dan Memberitakan injil. Mereka tidak di gaji hanya di Bantu pelayaran nya ke daerah – daerah tujuan. Mereka ini akan menjadi teladan dan memberi contoh yang baik bagi orang lain untuk hidup Berdikari.
Di Jerman (kota Berlin), bapa Gossner juga membuka Sekolah dan mendidik para pemuda yang nantinya akan di utus ke negeri—negeri kekafiran di Asia dan di Afrika termasuk Papua. Di sinilah kedua tokoh penginjil Carl Ottow dan Johann Gottlob Geissler di bimbing dan dididik menjadi utusan tukang (Zendeling - Weerkleiding). Yang menjadi tujuan pengutusan kedua penginjil tersebut adalah Tanah Papua (New Guinea), yang pada saat itu di kenal sebagai “daerah kekuasaan iblis” karena corak hidup penduduk nya yang jahat yakni suka berperang dan saling makan memakan antara manusia (cannibalism), perampokan, pengayauan, perbudakan dan sebagainya.

Hymne GKI

“SYUKUR YA TUHAN KAMI”
(Hymne GKI di Tanah Papua)

Syukur ya Tuhan kami, sebab Kau koyakkan
Kelam dan awan – awan, kesia – siaan
Dan tanah kami ini ketika tertentu
Di buka bagi firman, terang dan hidup mu

Dahulu kami tunggu suatu dunia
Lengkap didalam diri, yang satu dan baka
Iblis tetap memasang pengharapan semu
Dan kami yang kecewa, tak tahu kasih mu

Ajaiblah sayang Tuhan, kasih Mu yang besar
Mengutus pemberita kebangkitan benar
Dibimbing oleh Yesus yang mati di salib
Tak takut kami lagi rahasia gaib

Rahasia terbuka, teranglah harapan
Dan dosa nenek moyang telah diampunkan
Dan hati yang percaya sekarang barulah
Melihat kerajaan yang satu dan baka

Ya Tuhan, b’ri gereja dan kami inipun
Tetap terbuka hati, setia bertekun
Genapkan pekerjaan di dalam dunia!
Dengarkan doa kami, ya Tuhan datanglah!